Catatan Seorang Guru SD

Friday, April 29, 2005

catatan seorang murid sd

Ainun berjalan tergesa-gesa. Kakinya yang dibungkus kaus kaki putih dan sepatu kets warna hitam melangkah lebar-lebar. Bunyi bel pulang sekolah masih dapat terdengar di telinga Ainun, tapi ia sudah berada jauh dari sekolah. Beberapa temannya seperti Indah, Masri, dan Leni yang biasa pulang bersama, bingung mencari di mana Ainun.

Hari itu hari sabtu, yang berarti esok harinya anak-anak dapat bebas dari pelajaran sekolah. Semua anak sekolah dasar Darul Abidin siang itu tampak bergembira. Banyak di antara mereka yang sengaja tidak lekas pulang ke rumah. Ada yang main kejar-kejaran, ada yang berkumpul di taman sambil saling bercerita lucu sampai terdengar tawa mereka yang nyaring, ada pula yang sekadar duduk-duduk berjejer di teras kelas memandangi teman-teman mereka yang sedang bermain di lapangan. Sesekali mereka ikut berteriak atau bertepuk tangan ketika melihat seorang teman mereka yang sedang main tak lari jongkok hampir terjatuh atau ketika seorang anak yang sedang bermain lompat karet berhasil melompati karet yang cukup tinggi. Sementara itu di tengah keramaian dan hilir mudik anak-anak, Indah, Masri, dan Lani sudah hampir putus asa mencari Ainun. Tak seperti biasanya Ainun tidak tampak sepulang sekolah. Biasanya tidak sampai lima menit dari bel pulang, mereka sudah dapat melihat wajah bulatnya yang dibalut jilbab mungil berenda lengkap dengan cengiran dan cengengesannya yang khas, padahal mereka semua yakin kalau Ainun hari ini masuk sekolah. Merekapun masih melihat Ainun masuk ke kelas 3d pada jam pelajaran terakhir. Semua ruangan sudah mereka periksa satu persatu mulai dari lantai atas sampai bawah, termasuk kamar mandi dan WC, takut-takut kalau Ainun terkunci di sana. Tapi hasilnya nihil. Mereka tetap tidak dapat menemukan Ainun. Ainun menghilang!

Jam dinding menunjukkan pukul 12 lewat tiga puluh menit ketika kaki ramping milik Ainun dengan gesit memasuki teras rumah. Ia tidak langsung masuk rumah, tapi membelok ke arah samping kanan rumah. Hap! Sebentar saja ia sudah meloncat ke atas bale yang terletak di pojok teras. Bale yang terbuat dari bambu itu menghadap ke arah kolam ikan di samping rumah. Sambil sesekali memandangi ikan-ikan lele yang bermunculan ke permukaan air, Ainun mengeluarkan sesuatu dari saku roknya. Ternyata dompet HelloKitty-nya yang berwarna merah jambu. Iapun mulai membuka dompetnya dan menghitung uang yang ada di dalam dompetnya. “Ah, hanya ada seribu lima ratus rupiah, padahal setidaknya aku memerlukan sekitar lima ribuann rupiah. Berarti aku harus mengambil uang di celengan..”, gumam Ainun. Baiklah kalau begitu, nanti malam aku akan membongkar celengan. Eh!, tiba-tiba Ainun tersentak kaget ketika melihat arloji di tangannya “Astaghfirullah!”, sudah jam satu. Aku kan belum sholat zhuhur. Ketika ia beranjak dari bale, hidungnya mencium bau sesuatu yang membuat perutnya keroncongan. Seketika Ainun tersenyum kegirangan. Yes!… ibu pasti masak ikan balado kesukaanku. Asiiik. Mudah-mudahan ibu juga masak sayur asem, kata Ainun dalam hati. Beberapa detik kemudian tubuh mungil dengan jilbab putih berenda itu sudah berada di dalam rumah sambil berteriak kencang “Assalamu’alaikuuu…m, Ibuuu… aku pulaaa..ng!”

Setelah menunaikan sholat zhuhur, Ainun menghampiri meja makan di mana ibu sudah menunggu sambil menata makanan di atasnya. “Nun, ayo makan. Sengaja ibu masak ikan kembung kesukaanmu. Hari ini kan hari ulang tahunmu. Ingat ya setiap kamu ulang tahun, berarti umurmu bertambah satu, tapi…. jatah hidupmu di dunia malah berkurang satu..”, sambil berkata begitu, bu Asri menghampiri Ainun yang masih terpaku di tempatnya lalu memeluk dan mencium kedua pipi anak perempuan satu-satunya itu. Mendengar kata-kata ulang tahun, Ainun bengong. Matanya yang bulat menatap tak berkedip ke arah ibunya. Ainun benar-benar lupa kalau hari ini tepat delapan tahun yang lalu ia dilahirkan. Tak terasa air mata mulai mengalir di pipi Ainun. Ia terharu dengan perhatian ibunya. Pikirannya mulai melayang-layang teringat masa-masa kecilnya dulu ketika ia paling suka minta digendong ibunya kalau lagi sakit. Tak peduli apakah ibunya sedang santai atau sedang bekerja atau sedang ke kamar mandi sekali pun, Ainun tak pernah mau lepas dari gendongan. Atau ketika ia pura-pura menangis meraung-raung di pasar ketika keinginannya membeli ikan mas koki tidak dipenuhi ibu. Mengingat itu, tangisnya malah makin menjadi. Bu Asri hanya tersenyum melihat tingkah anaknya. “Lho.. ulang tahun kok malah nangis sih nduk?”. Ibunya tak tahu apa yang sedang dipikirkan Ainun. Ia berjongkok agar wajahnya bisa berhadapan sejajar dengan wajah Ainun, dan Bu Asri hanya membelai-belai rambut anaknya itu ketika Ainun memeluk erat ibunya tercinta sambil berbisik, “Inun sayang sama ibu..”.

Sholat maghrib berjamaah kali ini terasa agak lain. Itu karena ayah membaca surat yang agak panjang dan membacanya dengan perlahan-lahan. Sesekali terdengar suara ayahnya parau seperti mau menangis. Hati Ainun jadi sedih, ia teringat kembali kejadian siang tadi di mana ia menangis terisak-isak seperti anak kecil. Rakaat terakhir, sholat Ainun sudah tidak khusyuk lagi. Pikiran Ainun melayang-layang memikirkan banyak sekali kejadian masa lalunya bersama ayah dan ibu.

Ainun memandangi celengan ayamnya yang sudah ia isi selama setahun lebih. Celengan dari tanah liat yang berbentuk ayam jago itu diberikan ibu ketika ia naik ke kelas dua. Pikirannya masih bimbang untuk mengambil sebagian uang yang ditabungnya, karena berarti ia harus memecahkan celengan itu. Diraihnya celengan ayam itu dari atas lemari buku lalu duduk di lantai. Ah, bagaimana ya caranya mengambil sebagian uang tanpa harus memecahkan celengan. Lubangnya begitu sempit. Ainun terus berpikir sambil menimang-nimang celengannya. “Ah… walau bagaimanapun aku harus mendapatkan kekurangan uang yang aku miliki. Dan inilah satu-satunya cara mendapatkan uang tersebut”, gumam Ainun. Tapi…… Aw, Praaak! Tubuh Ainun sedikit terguncang karena kaget. Tanpa disadarinya secara refleks tangan Ainun telah membenturkan celengan ayam kesayangannya ke lantai. Tidak sampai satu detik ia melihat celengan tanah liat itu terbelah menjadi beberapa bagian. Uang logam seratusan, lima ratusan, dan seribuan berceceran di lantai, bahkan ada yang masih menggelinding ke arah kolong tempat tidur. Melihat itu, tanpa pikir panjang lagi Ainun pun mulai memunguti uang yang berserakan di lantai. Setelah terkumpul, Ainun mulai menghitung sampai jumlah yang diperlukannya. “Ya! Tiga ribu lima ratus. Ditambah dengan uang di dompet, jumlahnya pas lima ribu. Cukup untuk beli satu set saputangan di stasiun. Oh iya untuk beli kertas kadonya lima ratus..”

Tok tok tok. Suara ketukan di pintu kamar membuatnya Ainun sangat terkejut. Jantungnya seakan berhenti berdetak. “Aduh gawat nih!”, seru Ainun tertahan. Cepat-cepat ia membereskan pecahan celengennya dan memasukkannya ke kolong tempat tidur. Sementara uang sisa uang celengan yang sudah dimasukkan ke dalam kantong plastik hitam, disembunyikan di bawah bantal. “Nun..! buka nun. Ayah mau masuk!”, kata ayah sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar.
“Sebentar Yah!”, kata Ainun dengan suara agak dikeraskan.
Begitu pintu terbuka, Ayah langsung bertanya, “Tadi sepertinya ayah mendengar suara celengan pecah. Celenganmu mana, Nun?”. Tak disangka ayahnya bisa langsung menebak bunyi celengannya yang pecah. Gawat. Ainun takut kalau ayahnya marah. Tapi sebelum sempat ayahnya berkata-kata lagi, Ainun memberanikan diri untuk bersuara. “Maafin Ainun Yah..!”. Pak Syamsul, Ayah Ainun, mengernyitkan dahinya. Ia heran bercampur cemas melihat anak perempuan satu-satunya itu tampak ketakutan. Pak Syamsul seorang yang bijak, ia tahu bagaimana menghadapi seorang anak seperti itu. Segera ia menutup pintu kamar Ainun dan membimbing anaknya duduk di pinggir tempat tidur. “Ayo nak, cerita ke Ayah. Kenapa kamu pecahkan celenganmu ?”. Suara berat ayah yang lembut membuat rasa takut Ainun hilang seketika. Ia pun melepaskan rangkulan tangan ayahnya dan memutar tubuhnya. Kali ini Ainun sudah berhadap-hadapan dengan ayah. Dengan gayanya yang centil, Ainun menyilangkan kedua tangannya di dada lalu berkata, “Yah, begini yah, Ayah kan tahu guru Ainun yang namanya pak Sardi ?”
“Oh, tentu. Itu kan gurumu di kelas dua ?”
“Benar yah..”
“Lalu, kenapa ..? apa dia sakit ? atau…mau pindah ? atau…. ” belum sempat pak Syamsul meneruskan, dua buah telapak tangan mungil sudah menutupi mulutnya yang telah terlanjur menganga.
“Ssttt. Tunggu dulu yah. Dengar dulu penjelasan Inun”
Pak Syamsul hanya tersenyum geli melihat anaknya yang beberapa menit yang lalu wajahnya pucat ketakutan, kini berubah menjadi Inun yang dikenalnya. Inun yang lincah, periang, rada sok tahu, dan centil, tapi sholihat lho..
“Yah, pak Sardi itu kan guru kesayangan Ainun. Kalau mengajar selalu membuat anak-anak menjadi riang. Orangnya sabar, tidak pernah marah…pokoknya enak deh yah”
“Mmmm, begitu ya ?” “Iya yah”
“Nah, sekarang Ainun ingin membuat kejutan yah. Besok, pak Sardi ulang tahun yah. Ainun sudah bertekad memberi kado saputangan”
“Wah.. bagus., bagus. Lalu untuk membeli saputangan itu kamu butuh uang, iya kan?. Karena kamu tidak punya uang, terus kamu pecahin celengan. Oo begitu…. Tapi,..kenapa saputangan ?”.
“Nnnggg….kata bu Siti sih.. sapu tangan itu… perlambang cinta dan kasih sayang..”, kata Ainun tersipu-sipu.
Waduh! Pak syamsul menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia cemas, gadis kecilnya sudah mengerti cinta dan kasih sayang segala. Mudah-mudahan bukan karena pak sardi itu lelaki.
“Masya Allah…niatmu terpuji sekali Nun. Tapi mengapa kamu baru memberi hadiahnya sekarang? Kenapa tidak dari dulu, kan tidak mesti pas beliau ulang tahun? memangnya kalau beliau tidak punya hari ulang tahun lantas kamu tidak jadi memberi hadiah? Begitu?”
“Ya enggak begitu yah… Tapi Inun baru ingat sekarang yah, pas pak Sardi mau ulang tahun. Ini kan momment yang tepat. ‘Tul nggak yah?”
Pak Syamsul sekarang tidak tahan menahan tawanya. Tawanya berderai di dalam kamar. Dengan gemas ia mengacak-acak rambut Ainun. Kok anaknya yang baru delapan tahun bicaranya sudah pakai istilah inggris segala. Momment lah.
“Ya sudah, kalau begitu, besok Ayah antar kamu membeli saputangan. Tapi ingat, kamu juga harus mengganti celengan Ayam yang sudah kamu pecahkan”.
“Uangnya, dari mannna ?”, kata Ainun manja, berusaha merajuk Ayahnya.
“Ya dari sisa tabungan yang tidak kamu pakai itu..”
“Tapi nanti uang tabungan Ainun semakin sedikit dong yah…”
Pak Syamsul mencium rambut anaknya dengan lembut. “Baiklah nanti ayah yang belikan. Tapi janji ya, lain kali kalau kamu punya rencana sebesar ini, ayah harus dilibatkan dari awal. Ok?”.
Ainun menganggukkan kepalanya berulang-ulang dengan gembira. Mata Ainun yang berbinar-binar menghiasi wajahnya yang ceria malam itu.

Hari itu senin tanggal 22 November. Matahari tidak tampak bersinar cerah seperti hari-hari kemarin. Di atas langit tampak awan kelabu yang datang dari arah barat berarak-arak ke timur seakan-akan hendak memadamkan cahaya matahari. Tetapi gerombolan awan kelabu tersebut tampaknya tidak mampu memadamkan keceriaan hati Ainun pagi ini.

Jam bandul tua peninggalan kakek Ainun yang dipasang ayah di dinding ruang makan terdengar berdetak-detak lebih nyaring dari kemarin seolah ingin mengabarkan bahwa saat ini sudah pukul 6 lewat tiga puluh menit. Ainun sudah duduk di meja makan menunggu ibu menyiapkan sarapan pagi. Ibu bilang pagi ini ayah puasa sunnah, jadi ia tidak ikut sarapan pagi bersama. Ainun melongok ke arah jendela, sekilas ia melihat ayahnya yang sedang berbincang-bincang sambil berdiri di kebun dengan pak Umar, tetangga sebelah. Hhhh… Ainun menghempaskan tubuhnya di kursi makan.

Ainun tampak cantik dalam seragam putih merahnya. Rambut hitam lurusnya tergerai belum ditutupi jilbab. Kakinya yang bergantung tak menyentuh lantai, diayun-ayunkan. Berulangkali ia menengok ke arah dapur dan ke arloji di tangannya bergantian. Tampak Ainun sudah tidak sabar lagi untuk sarapan. Di atas meja makan, tampak sebuah benda berbentuk persegi panjang terbungkus kertas kado warna biru gelap lengkap dengan pita dengan warna biru yang lebih muda. Ayah yang membuatkan pitanya, sementara yang membungkus kado tentu saja ibu. Ibu kan terkenal paling rapih dalam bungkus membungkus. Jadinya adalah kado mungil yang cantik. Kata ayah, pak Sardi pasti akan lebih tertarik dengan pita yang dibuat ayah. Padahal menurut Ainun, pita buatan ayah ditempel kurang ke samping dan ikatannya terlalu panjang, jadi seolah-olah pita itu mau memakan kadonya.

Ainun terus memandangi kado birunya dengan takjub. Ia tak sabar lagi untuk menyerahkannya ke pak Sardi.
“Nun, ini telur bebek dadarnya sudah jadi!”. Tiba-tiba ibu telah berada di sampingnya. “Oh, ya..kamu sudah menulis kata-katanya belum di dalam kado?”, tanya ibu mengingatkan.
“Tenang mam, I don’t forget dee..h”. Sebuah jitakan lembut ibu mengenai kepala Ainun. Ainun hanya tertawa terkekeh-kekeh sambil siap-siap berdo’a sebelum menyantap nasi dan telur bebek dadar kegemarannya.

Di pintu gerbang sekolah, Ainun sudah ditunggu oleh tiga orang sahabatnya. Indah, Masri, dan Leni sengaja datang lebih pagi untuk menunggu Ainun di pintu gerbang. Begitu Ainun tampak, mereka langsung menyambutnya. Indah merangkul Ainun sambil berjalan berjajar. Semuanya ikut bertanya, kenapa hari sabtu ia menghilang. “Nun, kamu hari sabtu kok ninggalin kita sih?”, tanya Indah. “Pasti kamu sakit perut yaa..?”, Masri yang berusaha berjalan sejajar meledek.
Ainun hanya tertawa-tawa saja. “Hey teman-teman, nanti aku ceritain deh semuanya waktu pulang sekolah. Masalahnya ini ceritanya panjang. O.K?”.
“Huuu….curang!”, seru ketiga orang sahabatnya serempak.

Jam sudah menunjukkan pukul 7.35. Tapi Aneh, bel tanda persiapan upacara tidak kunjung dibunyikan. Biasanya bel sudah berbunyi meraung-raung begitu jam menunjukkan pukul 7.30 tepat. Ainun dan teman-temannya menunggu bel sambil duduk-duduk di teras kelas tiga. Anak-anak lainnya hilir mudik tak karuan di depan kelas maupun di lapangan. Suara anak-anak terdengar ramai sekali seperti suasana di pasar malam. Pagi itu suasana sedikit kacau. Tidak tampak guru-guru mengatur mereka berbaris di lapangan. Beberapa orang guru hanya sesekali keluar ruang guru. Tapi hanya sampai di depan pintu. Setelah memperhatikan anak-anak yang sedang hilir mudik kemudian masuk ke dalam lagi. Hampir tidak ada anak yang memperhatikan keanehan tersebut. Ainun yang merasa ada sesuatu yang ganjil di ruang guru, secara diam-diam berjalan berjalan memutar ke belakang menghampiri ruang guru. Tubuhnya di rapatkan di tembok samping. Dan kepalanya pelan-pelan dijulurkan ke arah dalam ruangan melalui jendela yang sedikit terbuka. Di dalam ruangan tampak semua guru berkumpul di dekat meja pak Ali, kepala sekolah. Ada bu Siti, bu Indri, bu Asti, pak Adi, pak Joko, pak Agus, dan yang lainya. Hati Ainun tercekat, karena beberapa orang guru wanita berpelukan. Wajah-wajah mereka menampakkan kemuraman. Bu siti terlihat berkali-kali mengusap matanya dengan sapu tangan. Sepertinya ia menangis. “Wah..ada apa ya?….” , bisik Ainun.
Ainun berjalan kembali ke arah teman-temannya dengan pikiran galau.

Tak lama kemudian guru-guru keluar dari ruang guru. Dan bersamaan dengan itu kami mendengar pengumuman dari pengeras suara bahwa hari itu upacara bendera ditiadakan dan murid-murid dihimbau untuk segera memasuki kelasnnya masing-masing. Beberapa teriakan gembira anak-anak terdengar.

Ainun mendapat giliran duduk paling belakang hari ini. Hari sabtu kemarin Ainun duduk paling depan. Sekarang Gatot yang paling depan di deretannya. Pak Agus, wali kelas 3d masuk ke ruangan. Salma langsung menyiapkan anak-anak. Setelah selesai disiapkan dan mengucapkan salam bersama, anak-anak mulai berisik lagi. Ada yang berbincang-bincang dengan teman di belakangnya, ada yang meminjam pinsil, ada yang meraut pinsil. Sementara pak Agus belum berkata-kata. Ia hanya berdiri tegak di depan kelas menunggu suasana kelas agak reda. Akhirnya pak Agus mengetuk meja dengan penghapus papan tulis dengan keras. Tuk! tuk! tuk!. Anak-anak segera kembali ke tempat duduknya. “Pak kok kita tidak upacara sih?”, protes Irfan. “Iya pak !”, seru anak-anak kelas 3d hampir bersamaan.
“Anak-anakku..”, pak Agus mulai buka suara. Tetapi suaranya pelan. Tak seperti biasanya pak Agus bersuara pelan. Mungkin beliau sakit, pikir Ainun. Semua anak kini terdiam seribu basa menunggu-nunggu kalimat selanjutnya keluar dari mulut dari pak Agus. Wajah pak Agus tampak tidak ceria pagi ini. Seperti orang sedih.
“Anak-anak, setiap manusia dilahirkan sudah ditentukan jodohnya, rezekinya, dan ajalnya”, kata pak Agus pelan. “Setiap manusia juga hanya berusaha beramal dengan baik di dunia agar kapanpun ia dipanggil oleh Allah ia sudah mempunyai perbekalan yang cukup.”
“Ah! ini pasti. Pasti ada yang meninggal…pasti ada yang meninggal…”, Ainun berbisik berulang-ulang, “Pasti ada yang meninggal…pasti ada yang meninggal!”. Tubuh Ainun menggigil ketakutan. Takut kalau-kalau yang meninggal adalah orang yang dikenalnya, dikasihinya, disayanginya.
Pak Agus masih berkata-kata sementara Ainun sudah tidak mendengar lagi. Ia sibuk menduga-duga siapa gerangan orang yang meninggal. Di tengah ketakutannya, sampailah pak Agus mengumumkan bahwa,
“Anak-anakku....pak Sardi telah meninggalkan kita untuk selamanya! Beliau mengalami kecelakaan ketika mengendarai sepedanya tadi malam”.
Ruang kelas 3d langsung berubah suasananya. Banyak anak yang langsung menangis terisak-isak di bangkunya terutama yang wanita sementara yang lain berhamburan mendekati pak Agus untuk bertanya lebih lanjut. Mereka hampir tidak percaya kalau mereka mulai hari ini tidak akan pernah bertemu lagi dengan pak Sardi.
Sementara itu di bangku paling belakang, seorang gadis kecil dengan jilbab putih berenda tersandar lemas di bangkunya. Air matanya yang bening bagai kristal mengalir deras bak air bah di musim penghujan. Kelopak matanya yang laksana bunga mawar di musim semi, gugur layu sebelum mekar. Tubuhnya berguncang-guncang menahan emosinya yang meluap-luap. Kesedihannya amat mendalam, seakan takkan sanggup dipikul oleh seorang gadis sekecilnya. Tangan mungil dengan jemari yang lentik, erat menggenggam kado cantik warna biru gelap berbentuk persegi panjang dengan pita yang ikatannya kepanjangan. Di sisi kado itu tertera tulisan yang hampir tidak terlihat karena ditulis dengan pinsil 2b :
Untuk guruku yang baik.
Dari muridmu, Ainun kelas 3d.
:: posted by mohamad hary, 3:08 PM

1 Comments:

saya shiro, orang bali asli.
Anonymous Anonymous, at 4:46 PM  

Add a comment