Catatan Seorang Guru SD

Friday, April 29, 2005

satu hari bersama kelas 3

Pagi ini memang cerah secerah perasaanku. Tapi tetap saja rasanya ada yang mengganjal setelah peristiwa yang terjadi kemarin. Rasa rasanya baru sekali itu aku merasa begitu dongkol sama yang namanya orang tua murid. Tapi kalau mengingat-ingat Adinda di rumah tentu saja hati ini tidak sempat merasa bosan apalagi kesal, tetapi ya itu tadi selalu saja ada pikiran-pikiran yang mengganggu. Yang membuatku tenang karena aku ingat sudah membaca Bismillahi Laa Yadhurru…… ajaran Nabi Muhammad. Lho iya, kata pak Basri, guru PAI, do’a ini membuat kita dijamin tidak celaka dari pagi sampai petang. Cui! Hebat meck.
Kulihat di samping, anak-anak sudah berbaris rapi menunggu aba-aba dari ketua kelas giliran. Hari ini giliran si Nisa. Gigi kelinci sudah langsung menari-nari berseliweran di antara barisan anak-anak. Kalau menurut buku hasil Raker, tentu saja sikapku yang hanya bersender memandang dari kejauhan dipersalahkan, tapi kalau menurut hasil kata hatiku tentu juga ini yang paling enak dikerjakan.
“Jack!”
Anak gendut itu lagi yang terlihat tidak tertib. Kupanggil dia.
“Hei bisa tertib tidak ?”
Kaget setengah mati! Tidak menyangka kalau ada aku di belakang. Bukannya jawaban, dia hanya goyang-goyang badan sambil memamerkan dua gigi kelincinya yang lebih besar dari punya si Nisa. Matanya agak sipit jadi kalau mau nangis agak kurang kentara. Sebetulnya anak ini kalau sudah besar bakalan ganteng dan cakep, tinggi besar. Jago renang, lagi. Eh iya memang di kelas ada dua anak yang punya gigi kelinci. Tapi yang terakir ini terlihat agak kurang terawat. Maklumlah anak laki-laki.
“Diam kamu”, hardikku dengan gaya sok digalak-galakkin. Yang satu ini memang penakut. Walau kesannya sebaliknya kalau mendengar cerita-cerita bapaknya. Aku kira lima hari seminggu dan 7 jam sehari cukup untuk membuat diriku bisa disejajarkan dengan bapaknya dalam membuat kesimpulan. Tul nggak? Cengeng dan penakut. Lempar batu sembunyi tangan. Tidak jentel. Usil. Nggak satria. Pendendam. Lamban. Kurang cemerlang. Suka cari kambing hitam. Aduh jahat bener sih kesimpulannya tapi ya memangnya begitu habis mau diapain lagi ? yang penting aku tidak membenci dia. Malah sebetulnya cukup hobi ngajak si Jack ngobrol. Dia itu pinter ngebodor. Aku paling bahagia kalau dia dapat ulangan matematika bagus. Jempol kananku bisa jadi saksi. Dia selalu aku pamerkan di depan muka Jack kalau ulangannya bagus.
Tiba-tiba dari arah jam dua belas lebih 30 menit ada lagi sumber malapetaka. Roy yang dua minggu absen dengan alasan kurang jelas, lagi pecicilan sendiri di barisan paling belakang. Tentu saja tidak perlu menunggu sampai dua detik. Et malah seperenam detik deh. Jack sudah teriak.
“Pak, Roy juga becanda pak !!?”
Mulutnya Jack monyong-monyong dan matanya menatapku tajam seolah-olah aku ini tertuduh tindak kejahatan HAM. Hi..hi… bakat dari mana dia ya?.
“Tenang Jack bapak beresin”, kataku menenangkan.
“Roy, sini kamu!”
Sebetulnya aku sudah malas teriak-teriak. Dua minggu belakangan suasananya sudah enak. Nyaman dan terkendali. Pelajaran nyampe semua. Dengan kedatangan Roy kembali, aku tidak tahu apa yang akan terjadi sampai akhir cawu ketiga ini. Menekan-nekan tutup artline hitam dengan jempol ternyata bisa juga menurunkan tensi. Kaki lincah Roy langsung memburu posisiku. Berlari dengan gerakan zig-zagnya Rivaldo. Sambil cengengesan kepalanya digaruk-garuk.
“Emang kenapa sih pak?”, lengking si Roy manja.
Ya Allah, mudah-mudahan anakku tidak seperti dia kelakuannya. Banyangin aja, hasil survey kecil-kecilan menunjukkan hanya 2 dari 30 anak di kelas yang tidak terlalu gembira waktu dia izin dua minggu. Kalau sudah begitu terbayang lagi deh Adinda di rumah yang perutnya mulai buncit. Makannya susah banget. Kalau tidak ditemenin bisa tidak makan sampai pagi.
“Ya! kamu berdua baca ikrar”
“Kan uudah paaak”
“Lagi”
“Yaaaa…, pak”
“Cepet”
Sudahlah aku tinggal saja mereka berdua. “Mir, biarin aja tuh anak dua baca do’a lagi”.
Tiba-tiba “Ee..ma’af pak Jan, saya terlambat, itu… so’alnya ketinggalan jemputan, istri ane kan lagi sakit”, pak Amir yang baru terlihat pagi ini bicara dengan pelan kepadaku.
Well, aku sebenarnya paling malas tuh dengerin alasan. Bagiku asal dia bilang ‘ma’af saya terlambat’, ya sudah cukup. Tidak usah deh alasannya. Paling kan aku yang tanya, emangnya ada apa ? macet ya? Istri sakit ya? sambil senyum pula. Ya nggak ?
Jadi aku diam saja.
Tapi…. kayaknya kok tidak bijaksana ya..
Jadi,
“Masya Allah…masih sakit Mir? Udah dibawa ke dokter belom? Mudah-mudahan cepet sembuh deh”, kataku menghibur sambil menepuk-nepuk pundak pak Amir. Akhirnya kami berduapun masuk ke dalam.
Aku langsung menuju meja guru, meniup-niup debu sambil menyiapkan pelajaran pertama : yes! Matematika.
“Nisa…”
“Sudah, pak!” , hampir semua anak menyahut. Bagus, sudah kuduga.
Ya sudah kalau begitu. Aku memang paling senang kalau anak-anak mengambil inisiatif untuk berdoa bersama walau gurunya belum kelihatan. Jadi tidak perlu menahan nafas melihat tingkah Haekal yang susah banget diam di tempat.
“Ok, Assalamu’alaikum everybody. How are you today ?”
“I’m fine, and you ?”, jawab anak-anak serempak penuh semangat.
Sebentar mataku menyelidik sampai ke pojokan kelas. Terlihat Alfi si putih mengerjap-ngerjapkan mata. Baru sembuh dari sakit mata dia. Hmm, Karen si cantik melotot ke arahku. Bukan, bukannya dia lagi marah, matanya memang bulat jernih seperti boneka. Jilbab putih berenda warna-warni seragam hari rabu ini sepertinya paling indah dikenakan dikepalanya. Wandira si raja eh ‘ratu nggak masuk’ bahkan juga terlihat sehat dan sedang duduk manis di bangkunya. Alhamdulillah. Yang lain-lain tidak perlu dipastikan secara mendetil. Kalau bukan karena sakit parah atau izin dibawa ibunya pulang kampung, anak-anak seperti Michael, Diansas, Ausi, Novi atau Echa hampir tidak mungkin tidak masuk. Padahal anak yang terakhir ini menurut mamanya sebelum naik kelas tiga paling susah disuruh sekolah, tapi sekarang, wess! Disuruh libur waktu ada rapat saja dia nangis. “Maa aku kan maunya masuk. Nggak enak kalau sampe ketinggalan pelajaran..”, rengeknya. Waktu diceritain kelakuan Echa tersebut sama Bu Wida yang imut-imut itu, aku hanya manggut-manggut saja. Itu untuk menjaga wibawa. Padahal hati ini girang banget lho. Tapi yang paling bikin aku geli kata-kata si Echa itu, bikin aku nggak tahan. Habis kayak omongan seorang anak lugu yang baik di cerita-cerita jaman dulu waktu belum ada tipi dan film Shincan.
Ehhmm. Sepertinya masuk semua. Kulirik sebentar papan bendera personal. Tidak ada satupun bendera yang belum diambil pemiliknya. Yap, masuk semua, bagus. “Well, Now, we are going to study math!”. “Do you like math?”, kataku nyaring.
“Yess!!!”, teriak anak-anak. Anehnya, yang paling keras teriak itu selalu anak-anak yang nilai matematiknya paling jeblok. Lihat saja si Alfi, Andre, Owni, Fashil, dan Diansas. Sebetulnya masih ada satu lagi yaitu Jack tapi dia masih di luar sama si Roy, baca ikrar dan do’a ulang. Tangan mereka sampai diputar-putar di udara seperti gaya Oscar de La Hoya kalau menang tanding, sambil bilang yess, layaknya mereka itu master matematika. Hi hi lucu ya. Tapi terus terang itu kadang membuatku terharu. Lihatlah betapa mereka bisa merasa terbebas dari rasa takut dengan pelajaran matematika. Jauh sekali dengan yang aku rasakan ketika sekolah dasar dulu. Dan untuk pertunjukan semangat mereka pagi hari ini padaku, aku berdo’a InsyaAllah mereka nanti benar-benar jadi master matematika. Amiin.

Lima menit lagi jam setengah sepuluh, itu tandanya istirahat pertama. Anak-anak masih serius mengerjakan sepuluh soal pembagian ratusan dengan cara pendek. Beberapa soal kubuat susah, tujuannya agar Zahra dan Karen, juga Afis dan Raka tidak terlalu cepat selesai. Kasihan dia kalau harus menunggu terlalu lama. Kalau si Jack, dari nomer dua dia sudah hampir lima kali menyandar di bangku. Itu tandanya dia kepusingan dan sebentar lagi menyerah. “Paak susah paaaak..”, begitu biasanya kalau dia sudah menyerah. Tapi pagi ini suara itu tidak keluar-keluar dari mulutnya padahal sudah lewat 15 menit.
Akhirnya, “Ok, Jack. Bapak mau lihat pekerjaanmu. Bawa ke sini!”, kataku pelan dan berwibawa. Tentu saja dia tidak langsung beranjak dari tempatnya. Kalau kupanggil, Jack selalu merasa akan diberi hukuman.
“Hei, Jack!”, kataku agak keras, sampai-sampai semua anak menoleh sebentar ke arah Jack. Setelah memastikan itu hanya peristiwa rutin, mereka bekerja lagi seperti semula. Teriakanku yang ini tak ayal membuat ‘goyangan badan statis’nya (yaitu pola menggoyang badan ke kiri dan kekanan tenpa berubah posisi) bertambah cepat frekuensinya. Gigi kelinci besar plus formasi ‘merem melihat’ (gayanya kalau dia sebetulnya sudah ingin menangis tapi matanya sekuat tenaga di rapatkan untuk membendung air yang mau jebol) pun diperagakan. Walaupun dirapatkan, dia sebetulnya masih bisa melihat. Itu terlihat dari kilatan bola mata yang bergerak-gerak ke sana-ke mari ) seolah ingin mengatakan suatu ketidakberdayaan pada lawan tandingnya untuk dikasihani. “Hei, man, kamu kan lihat sendiri aku sudah menyerah kalah. Tolong dong kasihani aku. Jangan sakiti aku. Masak kamu tidak tahu kalau aku punya tanggungan beberapa anak kecil dan beberapa ekor ikan cupang yang perlu diberi makan ‘cu setiap hari di rumah”, begitu mungkin kalau diterjemahkan ke dalam kata-kata dari formasi ‘merem melihat’nya si Jack.
Tapi ini bukan pertandingan semacam Gladiator begitu. Aku guru matematikanya, dan dia muridnya.
“Came On. Cepat !!?”, kataku lebih keras.
Kali ini suaraku sudah cukup untuk membuyarkan strategi ‘menjawab soal’nya Diansas yang sudah susah payah dibuatnya. Kejadian seperti ini biasanya dipakai Diansas untuk pembelaan jika nanti dia kena tegur karena sudah dua jam pelajaran baru selesai 2 nomer. “Aku nggak bisa konsentrasi lagi pak, waktu bapak teriak-teriak ke Jack”, begitu Diansas biasa berkilah.
Begitu buku bersampul coklat kucel itu di bentangkan, tampak benar Jack baru membuat coretan-coretan nomer satu yang tidak jelas.
“Aduh, Jack, kalau kamu tidak bisa jangan takut begitu doong”, rajukku putus asa.
“Aku belum ngerti paaak…”
Yahh….“Sini bapak ajarin lagi….”, kataku lemas.


Kesibukan mengajar di SD Petang Gembira hari ini cukup membuatku terhibur. Kulirik arloji. Setengah lima. Di pelataran parkir, pak Jarwono terlihat mengusap-ngusap bodi vespa super keluaran tahun ’74 nya. Tak lama kemudian, “Aw!”, jeritnya.
Agaknya ia mendapati tali koplingnya putus lagi. Ya ampun kasihan dia. Sebulan bisa putus tiga kali. Kembali kulirik arloji. “hmmmm, Pulang sekarang nggak ya?”. Sepeda balap biru metalik tersandar di bawah pohon petai cina seolah menunggu dengan tak sabar.
“Ampun pak Jan, putus lagi koplingku”, keluh pak Jarwono sambil melintas ke ruang guru.
Aku hanya tersenyum lebar.
Yeaah…., motor.
Iyya, ya?, kapan aku bisa punya motor ya?, pikirku.
Bosan juga aku kan kalu sering-sering dengar lelucon keringnya pak Ubit. “Bapak-bapak, …kita juga harus selalu berusaha memikirkan peningkatan kesejahteraan guru-guru kita. Saya kan tidak tega hampir setiap hari ngelewatin pak Jan lagi nggenjot sepeda ke sekolahan!”, begitu biasanya usul dan saran atau kesan dan pesan atau apalah namanya dari pak Ubit kalau dikasih kesempatan sebentar saja megang mikropon di rapat-rapat orangtua murid dan guru. Herannya kenapa harus selalu pak Jan contohnya. Keki dangdut deh pokoknya sama dia.

Beberapa tumpukan pekerjaan ank-anak kelas 3 Ranger menunggu dengan tertib di atas meja pak Jan untuk dijamah. Yang di dalam map hijau adalah kertas ulangan matematika, sudah dua minggu belum juga diperiksa. Sementara map warna hijau agak muda isinya hasil prakarya matematika. Map kuning dan plastik transparan berisi tugas dan ulangan IPS. Pak Jan memandangi tumpukan tersebut beberapa saat sambil senyum-senyum. Sedetik kemudian ia menyambar tas Jack WolfSkin orange-nya dan bergegas pulang. Di bawah pohon petai cina tempat sepedanya tersandar, ia masih terlihat berbicara sendiri.
“Ayo nimbus, kita pulang. Bismillah..”
:: posted by mohamad hary, 3:00 PM

0 Comments:

Add a comment