Catatan Seorang Guru SD

Wednesday, October 26, 2005

cita-cita

Cita-cita semua laki-laki tentu bukan sekedar naik motor hujan-hujanan sambil dipeluk erat sama istri tercinta dari boncengan. Masalahnya, untuk membuat sebuah cita-cita yang agak berbobot, saat ini banyak terbentur dengan masalah birokrasi yang rumit, seperti harus punya ijazah dengan stempel asli atau punya banyak duit banyak atau punya saudara yang lagi jadi pejabat. Masalah tidak berhenti di situ saja ketika selanjutnya ada larangan tak resmi untuk memiliki cita-cita yang aneh seperti punya gaji 10 juta sebulan hanya dengan menjadi guru SD.

(itu bukan aneh, tapi gila!)

Bicara masalah gaji, konon kata teman saya yang baru pulang dari Jerman, tukang sapu dan insinyur di sana gajinya cuma beda 5 jutaan. Wah, sama dong dengan di sini, pikir saya. Di sini, tukang sapu gajinya Rp 200.000,- sedang insinyur Rp 5.200.000,-. Bedanya 5 juta. Betul nggak? Ternyata tuduhan saya salah. Karena katanya, di sana tukang sapu gajinya Rp 20.000.000,- insinyur gajinya Rp 25.000.000,-. Lho apa bedanya? Kan sama-sama selisih 5 juta? Itukan di Indonesia!, sergahnya. Kalau di Jerman beda. Dengan gaji Rp 200.000, tukang sapu di Indonesia gak bakalan bisa punya rumah, kendaraan, dan gak bakal mampu nyekolahin anak di sekolah yang bagus, sedang tukang sapu di Jerman bisa beli rumah, kendaraan, nyekolahin anak, ke dokter, dan liburan musim panas ...Wah… saya hanya memandang kawan saya dengan tatapan kosong. Otak saya gak nyampe lah… agak susah memahami pikiran teman saya itu yang ternyata juga seorang insinyur dengan ijazah berstempel Jerman asli.

Kemarin, Wawan, teman saya yang kerja di sebuah Bank swasta curhat. Dia merasa dongkol setengah mati karena sewaktu ketemu kawan lamanya yang sekarang jadi guru ngaji, dibilang ‘Wah enak ya kerja di Bank?’. Belum selesai kagetnya, langsung ditanya lagi, ‘Udah jadi kepala cabang belom?’. Langsung saja ceramah ‘berbau’ agama menyembur keluar. Wawan bilang, mengapa saya hanya dipandang sedangkal itu? Apakah tidak bisa bertanya dengan pertanyaan yang lebih umum seperti ‘apa kabarnya?’, ‘sehat?’, ‘udah makan belom?’ dsb.dsb. atau pertanyaan yang lebih berbobot seperti, ‘sedang melakukan apa?’, ‘bagaimana perkembangan bank konvensional?’, dsb. dsb. ‘Belum tentu orang yang bekerja di bank seperti gue, kalau dia jujur, jauh lebih besar gajinya dibanding guru seperti elu’ ‘Paling banter 3 kali dari penghasilan elu’. ‘Terus apa elu pikir setiap orang yang kerja di bank, karirnya cepet? Temen gue di kantor udah 20 tahun kerja, baru sekali naik jabatan!’
Tentu saja kawan lamanya yang guru ngaji itu melongo mendengar balasan dari Wawan. Baru kali ini, tegur sapanya berbuah makian.

(emang orang gila, gak usah didengerin)

Wajah sang kawan lama yang sangat bingung karena tidak tahu telah berbuat apa, akhirnya membuat Wawan jatuh kasihan. Pikiran bijaknya mulai mengambil alih kekuasaan dari ego dan mengontrol keadaan.‘Mm… yah… you memang tidak bisa disalahkan bertanya seperti itu, maafkan saya yach?’.
Dari ceramah, akhirnya dilanjutkan dengan perkuliahan.
‘Setiap orang memang punya cara masing-masing dalam memandang. Tergantung dari pengalamannya’, kata Wawan. ‘Ente hanyalah salah satu contoh potret buram dari masyarakat kita yang sedang sakit’, lanjutnya. ‘Standar yang dipakai masyarakat kita membuat mereka menjadi orang-orang yang sakit mental’ mereka kecanduan barang-barang mewah dan menjadikan simbol-simbol kemewahan sebagai rujukan sukses. Penyakit ini lebih berbahaya dari flu burung. Sumber penularannya adalah para pejabat negara kita.

(Ih nuduh...)

Kembali ke masalah cita-cita, saya sekarang punya cita-cita membuat sebuah perusahaan atau sekolah di mana tidak ada pegawai saya yang akan menjadi objek penderita pada acara bakti sosial atau pada acara santunan amal.
Memang akhir-akhir ini yang terus menjadi pemikiran saya, mengapa perusahaan selalu menciptakan pegawai yang bisa digaji rendah dari yang lainnya????. Mengapa tukang sapu gajinya selalu kecil????

(ya kalo gajinya besar semua, duitnya kagak ada!)

Mengapa pesuruh selalu perlu mendapat santunan dari karyawan yang lain???? Mengapa penjaga sekolah dikasihani karena keluarganya berpenampilan kurang layak di mata karyawan lain???? Mengapa supir bisa dibentak-bentak tanpa perlawanan oleh anak majikannya???? Mengapa satpam boleh dimaki-maki tuan bermobil mewah karena tidak becus memarkir??? Mengapa seorang guru perlu diberi uang lebaran dari orangtua murid, dan harus mengantri untuk mengambilnya????
Apa yang salah???? mereka semua orang yang berusaha, semua bekerja, semua punya istri, anak, tanggungan, semua punya tubuh, dan karenanya semua boleh punya mimpi yang sama.
Apa yang menjadi tolok ukur kita dalam menghargai kerja orang lain? Pendidikan? Ijazah? Gelar? Kepandaian berkata-kata? Tanggung jawab? Kompleksitas kerja? Atau apa?
Apa yang mencegah tangan kita untuk menuliskan angka yang sama dengan staff keuangan pada slip gaji pesuruh kita?
Mengapa kita bisa membiarkan kemiskinan pada karyawan kita sementara kita memberi ampun pada orang yang korupsi?

(Woi woi sabar woi... eling!)

Sesugguhnya kitalah yang perlu dikasihani karena kita ternyata mengidap kemiskinan hati. Sesugguhnya kitalah yang perlu disantuni karena kita ternyata mengalami kebutaan jiwa.

(iya dech)

Masalahnya kita sedang terperangkap. Terperangkap oleh kotak kosong yang bernama aturan. Seorang dikatakan baru hampir miskin kalau ia punya penghasilan Rp 175.000,- per bulan. Juru bicara Presiden tentu tidak sedang bercanda ketika mengungkapkan ukuran ini. Ia adalah seorang doktor lulusan luar negeri, yang untuk mendapatkan gelarnya, memerlukan otak yang lebih dari sekedar cerdas dan uang yang tak sedikit. Tapi cobalah kita bertanya pada tetangga kita yang miskin, kira-kira punya rencana apa dengan uang sebesar itu untuk mengarungi samudra hidup selama sebulan bersama istri dan anak-anaknya?

(kemaren gwe dah tanya, tapi dia gak jawab tuh. malah nangis.)

Heh, anda hanyalah angka. Dengan data seperti itu, jumlah orang miskin di Indonesia tidak lebih dari 30 juta orang. Kita belum terpuruk.
Kalau ada orang yang tidak sanggup ke dokter, tidak sanggup memasukkan anak ke sekolah bermutu, tidak sanggup bayar cicilan rumah BTN, tidak sanggup beli susu Pedia Sure, tidak sanggup naik taksi dari rumah ke tempat kerjanya, atau tidak sanggup sewa mobil untuk sekedar pulang kampung, apakah mereka bisa dikatakan keluarga sejahtera? Saat ini dengan penghasilan 1 juta per bulan pun, akan cukup sulit menghidupi diri dan istri serta beberapa anak. Dengan kenyataan ini, jumlah orang miskin bisa mencapai ¾ jumlah penduduk Indonesia! Itu adalah angka yang buruk bagi para ekonom seperti DR. Sjahrir!

(Maaf ya… saya lagi kalap)
:: posted by mohamad hary, 12:18 PM

0 Comments:

Add a comment