Catatan Seorang Guru SD

Saturday, October 07, 2006

muazam rantisi ibadurrahman



bang azzam adalah anak yang lucu. tipikalnya nyelele, persis seperti buapaknya.
:: posted by mohamad hary, 4:57 PM | link | 1 comments |

kenangan gunung bunder

:: posted by mohamad hary, 4:36 PM | link | 0 comments |

Wednesday, October 26, 2005

cita-cita

Cita-cita semua laki-laki tentu bukan sekedar naik motor hujan-hujanan sambil dipeluk erat sama istri tercinta dari boncengan. Masalahnya, untuk membuat sebuah cita-cita yang agak berbobot, saat ini banyak terbentur dengan masalah birokrasi yang rumit, seperti harus punya ijazah dengan stempel asli atau punya banyak duit banyak atau punya saudara yang lagi jadi pejabat. Masalah tidak berhenti di situ saja ketika selanjutnya ada larangan tak resmi untuk memiliki cita-cita yang aneh seperti punya gaji 10 juta sebulan hanya dengan menjadi guru SD.

(itu bukan aneh, tapi gila!)

Bicara masalah gaji, konon kata teman saya yang baru pulang dari Jerman, tukang sapu dan insinyur di sana gajinya cuma beda 5 jutaan. Wah, sama dong dengan di sini, pikir saya. Di sini, tukang sapu gajinya Rp 200.000,- sedang insinyur Rp 5.200.000,-. Bedanya 5 juta. Betul nggak? Ternyata tuduhan saya salah. Karena katanya, di sana tukang sapu gajinya Rp 20.000.000,- insinyur gajinya Rp 25.000.000,-. Lho apa bedanya? Kan sama-sama selisih 5 juta? Itukan di Indonesia!, sergahnya. Kalau di Jerman beda. Dengan gaji Rp 200.000, tukang sapu di Indonesia gak bakalan bisa punya rumah, kendaraan, dan gak bakal mampu nyekolahin anak di sekolah yang bagus, sedang tukang sapu di Jerman bisa beli rumah, kendaraan, nyekolahin anak, ke dokter, dan liburan musim panas ...Wah… saya hanya memandang kawan saya dengan tatapan kosong. Otak saya gak nyampe lah… agak susah memahami pikiran teman saya itu yang ternyata juga seorang insinyur dengan ijazah berstempel Jerman asli.

Kemarin, Wawan, teman saya yang kerja di sebuah Bank swasta curhat. Dia merasa dongkol setengah mati karena sewaktu ketemu kawan lamanya yang sekarang jadi guru ngaji, dibilang ‘Wah enak ya kerja di Bank?’. Belum selesai kagetnya, langsung ditanya lagi, ‘Udah jadi kepala cabang belom?’. Langsung saja ceramah ‘berbau’ agama menyembur keluar. Wawan bilang, mengapa saya hanya dipandang sedangkal itu? Apakah tidak bisa bertanya dengan pertanyaan yang lebih umum seperti ‘apa kabarnya?’, ‘sehat?’, ‘udah makan belom?’ dsb.dsb. atau pertanyaan yang lebih berbobot seperti, ‘sedang melakukan apa?’, ‘bagaimana perkembangan bank konvensional?’, dsb. dsb. ‘Belum tentu orang yang bekerja di bank seperti gue, kalau dia jujur, jauh lebih besar gajinya dibanding guru seperti elu’ ‘Paling banter 3 kali dari penghasilan elu’. ‘Terus apa elu pikir setiap orang yang kerja di bank, karirnya cepet? Temen gue di kantor udah 20 tahun kerja, baru sekali naik jabatan!’
Tentu saja kawan lamanya yang guru ngaji itu melongo mendengar balasan dari Wawan. Baru kali ini, tegur sapanya berbuah makian.

(emang orang gila, gak usah didengerin)

Wajah sang kawan lama yang sangat bingung karena tidak tahu telah berbuat apa, akhirnya membuat Wawan jatuh kasihan. Pikiran bijaknya mulai mengambil alih kekuasaan dari ego dan mengontrol keadaan.‘Mm… yah… you memang tidak bisa disalahkan bertanya seperti itu, maafkan saya yach?’.
Dari ceramah, akhirnya dilanjutkan dengan perkuliahan.
‘Setiap orang memang punya cara masing-masing dalam memandang. Tergantung dari pengalamannya’, kata Wawan. ‘Ente hanyalah salah satu contoh potret buram dari masyarakat kita yang sedang sakit’, lanjutnya. ‘Standar yang dipakai masyarakat kita membuat mereka menjadi orang-orang yang sakit mental’ mereka kecanduan barang-barang mewah dan menjadikan simbol-simbol kemewahan sebagai rujukan sukses. Penyakit ini lebih berbahaya dari flu burung. Sumber penularannya adalah para pejabat negara kita.

(Ih nuduh...)

Kembali ke masalah cita-cita, saya sekarang punya cita-cita membuat sebuah perusahaan atau sekolah di mana tidak ada pegawai saya yang akan menjadi objek penderita pada acara bakti sosial atau pada acara santunan amal.
Memang akhir-akhir ini yang terus menjadi pemikiran saya, mengapa perusahaan selalu menciptakan pegawai yang bisa digaji rendah dari yang lainnya????. Mengapa tukang sapu gajinya selalu kecil????

(ya kalo gajinya besar semua, duitnya kagak ada!)

Mengapa pesuruh selalu perlu mendapat santunan dari karyawan yang lain???? Mengapa penjaga sekolah dikasihani karena keluarganya berpenampilan kurang layak di mata karyawan lain???? Mengapa supir bisa dibentak-bentak tanpa perlawanan oleh anak majikannya???? Mengapa satpam boleh dimaki-maki tuan bermobil mewah karena tidak becus memarkir??? Mengapa seorang guru perlu diberi uang lebaran dari orangtua murid, dan harus mengantri untuk mengambilnya????
Apa yang salah???? mereka semua orang yang berusaha, semua bekerja, semua punya istri, anak, tanggungan, semua punya tubuh, dan karenanya semua boleh punya mimpi yang sama.
Apa yang menjadi tolok ukur kita dalam menghargai kerja orang lain? Pendidikan? Ijazah? Gelar? Kepandaian berkata-kata? Tanggung jawab? Kompleksitas kerja? Atau apa?
Apa yang mencegah tangan kita untuk menuliskan angka yang sama dengan staff keuangan pada slip gaji pesuruh kita?
Mengapa kita bisa membiarkan kemiskinan pada karyawan kita sementara kita memberi ampun pada orang yang korupsi?

(Woi woi sabar woi... eling!)

Sesugguhnya kitalah yang perlu dikasihani karena kita ternyata mengidap kemiskinan hati. Sesugguhnya kitalah yang perlu disantuni karena kita ternyata mengalami kebutaan jiwa.

(iya dech)

Masalahnya kita sedang terperangkap. Terperangkap oleh kotak kosong yang bernama aturan. Seorang dikatakan baru hampir miskin kalau ia punya penghasilan Rp 175.000,- per bulan. Juru bicara Presiden tentu tidak sedang bercanda ketika mengungkapkan ukuran ini. Ia adalah seorang doktor lulusan luar negeri, yang untuk mendapatkan gelarnya, memerlukan otak yang lebih dari sekedar cerdas dan uang yang tak sedikit. Tapi cobalah kita bertanya pada tetangga kita yang miskin, kira-kira punya rencana apa dengan uang sebesar itu untuk mengarungi samudra hidup selama sebulan bersama istri dan anak-anaknya?

(kemaren gwe dah tanya, tapi dia gak jawab tuh. malah nangis.)

Heh, anda hanyalah angka. Dengan data seperti itu, jumlah orang miskin di Indonesia tidak lebih dari 30 juta orang. Kita belum terpuruk.
Kalau ada orang yang tidak sanggup ke dokter, tidak sanggup memasukkan anak ke sekolah bermutu, tidak sanggup bayar cicilan rumah BTN, tidak sanggup beli susu Pedia Sure, tidak sanggup naik taksi dari rumah ke tempat kerjanya, atau tidak sanggup sewa mobil untuk sekedar pulang kampung, apakah mereka bisa dikatakan keluarga sejahtera? Saat ini dengan penghasilan 1 juta per bulan pun, akan cukup sulit menghidupi diri dan istri serta beberapa anak. Dengan kenyataan ini, jumlah orang miskin bisa mencapai ¾ jumlah penduduk Indonesia! Itu adalah angka yang buruk bagi para ekonom seperti DR. Sjahrir!

(Maaf ya… saya lagi kalap)
:: posted by mohamad hary, 12:18 PM | link | 0 comments |

Friday, April 29, 2005

catatan seorang murid sd

Ainun berjalan tergesa-gesa. Kakinya yang dibungkus kaus kaki putih dan sepatu kets warna hitam melangkah lebar-lebar. Bunyi bel pulang sekolah masih dapat terdengar di telinga Ainun, tapi ia sudah berada jauh dari sekolah. Beberapa temannya seperti Indah, Masri, dan Leni yang biasa pulang bersama, bingung mencari di mana Ainun.

Hari itu hari sabtu, yang berarti esok harinya anak-anak dapat bebas dari pelajaran sekolah. Semua anak sekolah dasar Darul Abidin siang itu tampak bergembira. Banyak di antara mereka yang sengaja tidak lekas pulang ke rumah. Ada yang main kejar-kejaran, ada yang berkumpul di taman sambil saling bercerita lucu sampai terdengar tawa mereka yang nyaring, ada pula yang sekadar duduk-duduk berjejer di teras kelas memandangi teman-teman mereka yang sedang bermain di lapangan. Sesekali mereka ikut berteriak atau bertepuk tangan ketika melihat seorang teman mereka yang sedang main tak lari jongkok hampir terjatuh atau ketika seorang anak yang sedang bermain lompat karet berhasil melompati karet yang cukup tinggi. Sementara itu di tengah keramaian dan hilir mudik anak-anak, Indah, Masri, dan Lani sudah hampir putus asa mencari Ainun. Tak seperti biasanya Ainun tidak tampak sepulang sekolah. Biasanya tidak sampai lima menit dari bel pulang, mereka sudah dapat melihat wajah bulatnya yang dibalut jilbab mungil berenda lengkap dengan cengiran dan cengengesannya yang khas, padahal mereka semua yakin kalau Ainun hari ini masuk sekolah. Merekapun masih melihat Ainun masuk ke kelas 3d pada jam pelajaran terakhir. Semua ruangan sudah mereka periksa satu persatu mulai dari lantai atas sampai bawah, termasuk kamar mandi dan WC, takut-takut kalau Ainun terkunci di sana. Tapi hasilnya nihil. Mereka tetap tidak dapat menemukan Ainun. Ainun menghilang!

Jam dinding menunjukkan pukul 12 lewat tiga puluh menit ketika kaki ramping milik Ainun dengan gesit memasuki teras rumah. Ia tidak langsung masuk rumah, tapi membelok ke arah samping kanan rumah. Hap! Sebentar saja ia sudah meloncat ke atas bale yang terletak di pojok teras. Bale yang terbuat dari bambu itu menghadap ke arah kolam ikan di samping rumah. Sambil sesekali memandangi ikan-ikan lele yang bermunculan ke permukaan air, Ainun mengeluarkan sesuatu dari saku roknya. Ternyata dompet HelloKitty-nya yang berwarna merah jambu. Iapun mulai membuka dompetnya dan menghitung uang yang ada di dalam dompetnya. “Ah, hanya ada seribu lima ratus rupiah, padahal setidaknya aku memerlukan sekitar lima ribuann rupiah. Berarti aku harus mengambil uang di celengan..”, gumam Ainun. Baiklah kalau begitu, nanti malam aku akan membongkar celengan. Eh!, tiba-tiba Ainun tersentak kaget ketika melihat arloji di tangannya “Astaghfirullah!”, sudah jam satu. Aku kan belum sholat zhuhur. Ketika ia beranjak dari bale, hidungnya mencium bau sesuatu yang membuat perutnya keroncongan. Seketika Ainun tersenyum kegirangan. Yes!… ibu pasti masak ikan balado kesukaanku. Asiiik. Mudah-mudahan ibu juga masak sayur asem, kata Ainun dalam hati. Beberapa detik kemudian tubuh mungil dengan jilbab putih berenda itu sudah berada di dalam rumah sambil berteriak kencang “Assalamu’alaikuuu…m, Ibuuu… aku pulaaa..ng!”

Setelah menunaikan sholat zhuhur, Ainun menghampiri meja makan di mana ibu sudah menunggu sambil menata makanan di atasnya. “Nun, ayo makan. Sengaja ibu masak ikan kembung kesukaanmu. Hari ini kan hari ulang tahunmu. Ingat ya setiap kamu ulang tahun, berarti umurmu bertambah satu, tapi…. jatah hidupmu di dunia malah berkurang satu..”, sambil berkata begitu, bu Asri menghampiri Ainun yang masih terpaku di tempatnya lalu memeluk dan mencium kedua pipi anak perempuan satu-satunya itu. Mendengar kata-kata ulang tahun, Ainun bengong. Matanya yang bulat menatap tak berkedip ke arah ibunya. Ainun benar-benar lupa kalau hari ini tepat delapan tahun yang lalu ia dilahirkan. Tak terasa air mata mulai mengalir di pipi Ainun. Ia terharu dengan perhatian ibunya. Pikirannya mulai melayang-layang teringat masa-masa kecilnya dulu ketika ia paling suka minta digendong ibunya kalau lagi sakit. Tak peduli apakah ibunya sedang santai atau sedang bekerja atau sedang ke kamar mandi sekali pun, Ainun tak pernah mau lepas dari gendongan. Atau ketika ia pura-pura menangis meraung-raung di pasar ketika keinginannya membeli ikan mas koki tidak dipenuhi ibu. Mengingat itu, tangisnya malah makin menjadi. Bu Asri hanya tersenyum melihat tingkah anaknya. “Lho.. ulang tahun kok malah nangis sih nduk?”. Ibunya tak tahu apa yang sedang dipikirkan Ainun. Ia berjongkok agar wajahnya bisa berhadapan sejajar dengan wajah Ainun, dan Bu Asri hanya membelai-belai rambut anaknya itu ketika Ainun memeluk erat ibunya tercinta sambil berbisik, “Inun sayang sama ibu..”.

Sholat maghrib berjamaah kali ini terasa agak lain. Itu karena ayah membaca surat yang agak panjang dan membacanya dengan perlahan-lahan. Sesekali terdengar suara ayahnya parau seperti mau menangis. Hati Ainun jadi sedih, ia teringat kembali kejadian siang tadi di mana ia menangis terisak-isak seperti anak kecil. Rakaat terakhir, sholat Ainun sudah tidak khusyuk lagi. Pikiran Ainun melayang-layang memikirkan banyak sekali kejadian masa lalunya bersama ayah dan ibu.

Ainun memandangi celengan ayamnya yang sudah ia isi selama setahun lebih. Celengan dari tanah liat yang berbentuk ayam jago itu diberikan ibu ketika ia naik ke kelas dua. Pikirannya masih bimbang untuk mengambil sebagian uang yang ditabungnya, karena berarti ia harus memecahkan celengan itu. Diraihnya celengan ayam itu dari atas lemari buku lalu duduk di lantai. Ah, bagaimana ya caranya mengambil sebagian uang tanpa harus memecahkan celengan. Lubangnya begitu sempit. Ainun terus berpikir sambil menimang-nimang celengannya. “Ah… walau bagaimanapun aku harus mendapatkan kekurangan uang yang aku miliki. Dan inilah satu-satunya cara mendapatkan uang tersebut”, gumam Ainun. Tapi…… Aw, Praaak! Tubuh Ainun sedikit terguncang karena kaget. Tanpa disadarinya secara refleks tangan Ainun telah membenturkan celengan ayam kesayangannya ke lantai. Tidak sampai satu detik ia melihat celengan tanah liat itu terbelah menjadi beberapa bagian. Uang logam seratusan, lima ratusan, dan seribuan berceceran di lantai, bahkan ada yang masih menggelinding ke arah kolong tempat tidur. Melihat itu, tanpa pikir panjang lagi Ainun pun mulai memunguti uang yang berserakan di lantai. Setelah terkumpul, Ainun mulai menghitung sampai jumlah yang diperlukannya. “Ya! Tiga ribu lima ratus. Ditambah dengan uang di dompet, jumlahnya pas lima ribu. Cukup untuk beli satu set saputangan di stasiun. Oh iya untuk beli kertas kadonya lima ratus..”

Tok tok tok. Suara ketukan di pintu kamar membuatnya Ainun sangat terkejut. Jantungnya seakan berhenti berdetak. “Aduh gawat nih!”, seru Ainun tertahan. Cepat-cepat ia membereskan pecahan celengennya dan memasukkannya ke kolong tempat tidur. Sementara uang sisa uang celengan yang sudah dimasukkan ke dalam kantong plastik hitam, disembunyikan di bawah bantal. “Nun..! buka nun. Ayah mau masuk!”, kata ayah sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar.
“Sebentar Yah!”, kata Ainun dengan suara agak dikeraskan.
Begitu pintu terbuka, Ayah langsung bertanya, “Tadi sepertinya ayah mendengar suara celengan pecah. Celenganmu mana, Nun?”. Tak disangka ayahnya bisa langsung menebak bunyi celengannya yang pecah. Gawat. Ainun takut kalau ayahnya marah. Tapi sebelum sempat ayahnya berkata-kata lagi, Ainun memberanikan diri untuk bersuara. “Maafin Ainun Yah..!”. Pak Syamsul, Ayah Ainun, mengernyitkan dahinya. Ia heran bercampur cemas melihat anak perempuan satu-satunya itu tampak ketakutan. Pak Syamsul seorang yang bijak, ia tahu bagaimana menghadapi seorang anak seperti itu. Segera ia menutup pintu kamar Ainun dan membimbing anaknya duduk di pinggir tempat tidur. “Ayo nak, cerita ke Ayah. Kenapa kamu pecahkan celenganmu ?”. Suara berat ayah yang lembut membuat rasa takut Ainun hilang seketika. Ia pun melepaskan rangkulan tangan ayahnya dan memutar tubuhnya. Kali ini Ainun sudah berhadap-hadapan dengan ayah. Dengan gayanya yang centil, Ainun menyilangkan kedua tangannya di dada lalu berkata, “Yah, begini yah, Ayah kan tahu guru Ainun yang namanya pak Sardi ?”
“Oh, tentu. Itu kan gurumu di kelas dua ?”
“Benar yah..”
“Lalu, kenapa ..? apa dia sakit ? atau…mau pindah ? atau…. ” belum sempat pak Syamsul meneruskan, dua buah telapak tangan mungil sudah menutupi mulutnya yang telah terlanjur menganga.
“Ssttt. Tunggu dulu yah. Dengar dulu penjelasan Inun”
Pak Syamsul hanya tersenyum geli melihat anaknya yang beberapa menit yang lalu wajahnya pucat ketakutan, kini berubah menjadi Inun yang dikenalnya. Inun yang lincah, periang, rada sok tahu, dan centil, tapi sholihat lho..
“Yah, pak Sardi itu kan guru kesayangan Ainun. Kalau mengajar selalu membuat anak-anak menjadi riang. Orangnya sabar, tidak pernah marah…pokoknya enak deh yah”
“Mmmm, begitu ya ?” “Iya yah”
“Nah, sekarang Ainun ingin membuat kejutan yah. Besok, pak Sardi ulang tahun yah. Ainun sudah bertekad memberi kado saputangan”
“Wah.. bagus., bagus. Lalu untuk membeli saputangan itu kamu butuh uang, iya kan?. Karena kamu tidak punya uang, terus kamu pecahin celengan. Oo begitu…. Tapi,..kenapa saputangan ?”.
“Nnnggg….kata bu Siti sih.. sapu tangan itu… perlambang cinta dan kasih sayang..”, kata Ainun tersipu-sipu.
Waduh! Pak syamsul menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia cemas, gadis kecilnya sudah mengerti cinta dan kasih sayang segala. Mudah-mudahan bukan karena pak sardi itu lelaki.
“Masya Allah…niatmu terpuji sekali Nun. Tapi mengapa kamu baru memberi hadiahnya sekarang? Kenapa tidak dari dulu, kan tidak mesti pas beliau ulang tahun? memangnya kalau beliau tidak punya hari ulang tahun lantas kamu tidak jadi memberi hadiah? Begitu?”
“Ya enggak begitu yah… Tapi Inun baru ingat sekarang yah, pas pak Sardi mau ulang tahun. Ini kan momment yang tepat. ‘Tul nggak yah?”
Pak Syamsul sekarang tidak tahan menahan tawanya. Tawanya berderai di dalam kamar. Dengan gemas ia mengacak-acak rambut Ainun. Kok anaknya yang baru delapan tahun bicaranya sudah pakai istilah inggris segala. Momment lah.
“Ya sudah, kalau begitu, besok Ayah antar kamu membeli saputangan. Tapi ingat, kamu juga harus mengganti celengan Ayam yang sudah kamu pecahkan”.
“Uangnya, dari mannna ?”, kata Ainun manja, berusaha merajuk Ayahnya.
“Ya dari sisa tabungan yang tidak kamu pakai itu..”
“Tapi nanti uang tabungan Ainun semakin sedikit dong yah…”
Pak Syamsul mencium rambut anaknya dengan lembut. “Baiklah nanti ayah yang belikan. Tapi janji ya, lain kali kalau kamu punya rencana sebesar ini, ayah harus dilibatkan dari awal. Ok?”.
Ainun menganggukkan kepalanya berulang-ulang dengan gembira. Mata Ainun yang berbinar-binar menghiasi wajahnya yang ceria malam itu.

Hari itu senin tanggal 22 November. Matahari tidak tampak bersinar cerah seperti hari-hari kemarin. Di atas langit tampak awan kelabu yang datang dari arah barat berarak-arak ke timur seakan-akan hendak memadamkan cahaya matahari. Tetapi gerombolan awan kelabu tersebut tampaknya tidak mampu memadamkan keceriaan hati Ainun pagi ini.

Jam bandul tua peninggalan kakek Ainun yang dipasang ayah di dinding ruang makan terdengar berdetak-detak lebih nyaring dari kemarin seolah ingin mengabarkan bahwa saat ini sudah pukul 6 lewat tiga puluh menit. Ainun sudah duduk di meja makan menunggu ibu menyiapkan sarapan pagi. Ibu bilang pagi ini ayah puasa sunnah, jadi ia tidak ikut sarapan pagi bersama. Ainun melongok ke arah jendela, sekilas ia melihat ayahnya yang sedang berbincang-bincang sambil berdiri di kebun dengan pak Umar, tetangga sebelah. Hhhh… Ainun menghempaskan tubuhnya di kursi makan.

Ainun tampak cantik dalam seragam putih merahnya. Rambut hitam lurusnya tergerai belum ditutupi jilbab. Kakinya yang bergantung tak menyentuh lantai, diayun-ayunkan. Berulangkali ia menengok ke arah dapur dan ke arloji di tangannya bergantian. Tampak Ainun sudah tidak sabar lagi untuk sarapan. Di atas meja makan, tampak sebuah benda berbentuk persegi panjang terbungkus kertas kado warna biru gelap lengkap dengan pita dengan warna biru yang lebih muda. Ayah yang membuatkan pitanya, sementara yang membungkus kado tentu saja ibu. Ibu kan terkenal paling rapih dalam bungkus membungkus. Jadinya adalah kado mungil yang cantik. Kata ayah, pak Sardi pasti akan lebih tertarik dengan pita yang dibuat ayah. Padahal menurut Ainun, pita buatan ayah ditempel kurang ke samping dan ikatannya terlalu panjang, jadi seolah-olah pita itu mau memakan kadonya.

Ainun terus memandangi kado birunya dengan takjub. Ia tak sabar lagi untuk menyerahkannya ke pak Sardi.
“Nun, ini telur bebek dadarnya sudah jadi!”. Tiba-tiba ibu telah berada di sampingnya. “Oh, ya..kamu sudah menulis kata-katanya belum di dalam kado?”, tanya ibu mengingatkan.
“Tenang mam, I don’t forget dee..h”. Sebuah jitakan lembut ibu mengenai kepala Ainun. Ainun hanya tertawa terkekeh-kekeh sambil siap-siap berdo’a sebelum menyantap nasi dan telur bebek dadar kegemarannya.

Di pintu gerbang sekolah, Ainun sudah ditunggu oleh tiga orang sahabatnya. Indah, Masri, dan Leni sengaja datang lebih pagi untuk menunggu Ainun di pintu gerbang. Begitu Ainun tampak, mereka langsung menyambutnya. Indah merangkul Ainun sambil berjalan berjajar. Semuanya ikut bertanya, kenapa hari sabtu ia menghilang. “Nun, kamu hari sabtu kok ninggalin kita sih?”, tanya Indah. “Pasti kamu sakit perut yaa..?”, Masri yang berusaha berjalan sejajar meledek.
Ainun hanya tertawa-tawa saja. “Hey teman-teman, nanti aku ceritain deh semuanya waktu pulang sekolah. Masalahnya ini ceritanya panjang. O.K?”.
“Huuu….curang!”, seru ketiga orang sahabatnya serempak.

Jam sudah menunjukkan pukul 7.35. Tapi Aneh, bel tanda persiapan upacara tidak kunjung dibunyikan. Biasanya bel sudah berbunyi meraung-raung begitu jam menunjukkan pukul 7.30 tepat. Ainun dan teman-temannya menunggu bel sambil duduk-duduk di teras kelas tiga. Anak-anak lainnya hilir mudik tak karuan di depan kelas maupun di lapangan. Suara anak-anak terdengar ramai sekali seperti suasana di pasar malam. Pagi itu suasana sedikit kacau. Tidak tampak guru-guru mengatur mereka berbaris di lapangan. Beberapa orang guru hanya sesekali keluar ruang guru. Tapi hanya sampai di depan pintu. Setelah memperhatikan anak-anak yang sedang hilir mudik kemudian masuk ke dalam lagi. Hampir tidak ada anak yang memperhatikan keanehan tersebut. Ainun yang merasa ada sesuatu yang ganjil di ruang guru, secara diam-diam berjalan berjalan memutar ke belakang menghampiri ruang guru. Tubuhnya di rapatkan di tembok samping. Dan kepalanya pelan-pelan dijulurkan ke arah dalam ruangan melalui jendela yang sedikit terbuka. Di dalam ruangan tampak semua guru berkumpul di dekat meja pak Ali, kepala sekolah. Ada bu Siti, bu Indri, bu Asti, pak Adi, pak Joko, pak Agus, dan yang lainya. Hati Ainun tercekat, karena beberapa orang guru wanita berpelukan. Wajah-wajah mereka menampakkan kemuraman. Bu siti terlihat berkali-kali mengusap matanya dengan sapu tangan. Sepertinya ia menangis. “Wah..ada apa ya?….” , bisik Ainun.
Ainun berjalan kembali ke arah teman-temannya dengan pikiran galau.

Tak lama kemudian guru-guru keluar dari ruang guru. Dan bersamaan dengan itu kami mendengar pengumuman dari pengeras suara bahwa hari itu upacara bendera ditiadakan dan murid-murid dihimbau untuk segera memasuki kelasnnya masing-masing. Beberapa teriakan gembira anak-anak terdengar.

Ainun mendapat giliran duduk paling belakang hari ini. Hari sabtu kemarin Ainun duduk paling depan. Sekarang Gatot yang paling depan di deretannya. Pak Agus, wali kelas 3d masuk ke ruangan. Salma langsung menyiapkan anak-anak. Setelah selesai disiapkan dan mengucapkan salam bersama, anak-anak mulai berisik lagi. Ada yang berbincang-bincang dengan teman di belakangnya, ada yang meminjam pinsil, ada yang meraut pinsil. Sementara pak Agus belum berkata-kata. Ia hanya berdiri tegak di depan kelas menunggu suasana kelas agak reda. Akhirnya pak Agus mengetuk meja dengan penghapus papan tulis dengan keras. Tuk! tuk! tuk!. Anak-anak segera kembali ke tempat duduknya. “Pak kok kita tidak upacara sih?”, protes Irfan. “Iya pak !”, seru anak-anak kelas 3d hampir bersamaan.
“Anak-anakku..”, pak Agus mulai buka suara. Tetapi suaranya pelan. Tak seperti biasanya pak Agus bersuara pelan. Mungkin beliau sakit, pikir Ainun. Semua anak kini terdiam seribu basa menunggu-nunggu kalimat selanjutnya keluar dari mulut dari pak Agus. Wajah pak Agus tampak tidak ceria pagi ini. Seperti orang sedih.
“Anak-anak, setiap manusia dilahirkan sudah ditentukan jodohnya, rezekinya, dan ajalnya”, kata pak Agus pelan. “Setiap manusia juga hanya berusaha beramal dengan baik di dunia agar kapanpun ia dipanggil oleh Allah ia sudah mempunyai perbekalan yang cukup.”
“Ah! ini pasti. Pasti ada yang meninggal…pasti ada yang meninggal…”, Ainun berbisik berulang-ulang, “Pasti ada yang meninggal…pasti ada yang meninggal!”. Tubuh Ainun menggigil ketakutan. Takut kalau-kalau yang meninggal adalah orang yang dikenalnya, dikasihinya, disayanginya.
Pak Agus masih berkata-kata sementara Ainun sudah tidak mendengar lagi. Ia sibuk menduga-duga siapa gerangan orang yang meninggal. Di tengah ketakutannya, sampailah pak Agus mengumumkan bahwa,
“Anak-anakku....pak Sardi telah meninggalkan kita untuk selamanya! Beliau mengalami kecelakaan ketika mengendarai sepedanya tadi malam”.
Ruang kelas 3d langsung berubah suasananya. Banyak anak yang langsung menangis terisak-isak di bangkunya terutama yang wanita sementara yang lain berhamburan mendekati pak Agus untuk bertanya lebih lanjut. Mereka hampir tidak percaya kalau mereka mulai hari ini tidak akan pernah bertemu lagi dengan pak Sardi.
Sementara itu di bangku paling belakang, seorang gadis kecil dengan jilbab putih berenda tersandar lemas di bangkunya. Air matanya yang bening bagai kristal mengalir deras bak air bah di musim penghujan. Kelopak matanya yang laksana bunga mawar di musim semi, gugur layu sebelum mekar. Tubuhnya berguncang-guncang menahan emosinya yang meluap-luap. Kesedihannya amat mendalam, seakan takkan sanggup dipikul oleh seorang gadis sekecilnya. Tangan mungil dengan jemari yang lentik, erat menggenggam kado cantik warna biru gelap berbentuk persegi panjang dengan pita yang ikatannya kepanjangan. Di sisi kado itu tertera tulisan yang hampir tidak terlihat karena ditulis dengan pinsil 2b :
Untuk guruku yang baik.
Dari muridmu, Ainun kelas 3d.
:: posted by mohamad hary, 3:08 PM | link | 1 comments |

satu hari bersama kelas 3

Pagi ini memang cerah secerah perasaanku. Tapi tetap saja rasanya ada yang mengganjal setelah peristiwa yang terjadi kemarin. Rasa rasanya baru sekali itu aku merasa begitu dongkol sama yang namanya orang tua murid. Tapi kalau mengingat-ingat Adinda di rumah tentu saja hati ini tidak sempat merasa bosan apalagi kesal, tetapi ya itu tadi selalu saja ada pikiran-pikiran yang mengganggu. Yang membuatku tenang karena aku ingat sudah membaca Bismillahi Laa Yadhurru…… ajaran Nabi Muhammad. Lho iya, kata pak Basri, guru PAI, do’a ini membuat kita dijamin tidak celaka dari pagi sampai petang. Cui! Hebat meck.
Kulihat di samping, anak-anak sudah berbaris rapi menunggu aba-aba dari ketua kelas giliran. Hari ini giliran si Nisa. Gigi kelinci sudah langsung menari-nari berseliweran di antara barisan anak-anak. Kalau menurut buku hasil Raker, tentu saja sikapku yang hanya bersender memandang dari kejauhan dipersalahkan, tapi kalau menurut hasil kata hatiku tentu juga ini yang paling enak dikerjakan.
“Jack!”
Anak gendut itu lagi yang terlihat tidak tertib. Kupanggil dia.
“Hei bisa tertib tidak ?”
Kaget setengah mati! Tidak menyangka kalau ada aku di belakang. Bukannya jawaban, dia hanya goyang-goyang badan sambil memamerkan dua gigi kelincinya yang lebih besar dari punya si Nisa. Matanya agak sipit jadi kalau mau nangis agak kurang kentara. Sebetulnya anak ini kalau sudah besar bakalan ganteng dan cakep, tinggi besar. Jago renang, lagi. Eh iya memang di kelas ada dua anak yang punya gigi kelinci. Tapi yang terakir ini terlihat agak kurang terawat. Maklumlah anak laki-laki.
“Diam kamu”, hardikku dengan gaya sok digalak-galakkin. Yang satu ini memang penakut. Walau kesannya sebaliknya kalau mendengar cerita-cerita bapaknya. Aku kira lima hari seminggu dan 7 jam sehari cukup untuk membuat diriku bisa disejajarkan dengan bapaknya dalam membuat kesimpulan. Tul nggak? Cengeng dan penakut. Lempar batu sembunyi tangan. Tidak jentel. Usil. Nggak satria. Pendendam. Lamban. Kurang cemerlang. Suka cari kambing hitam. Aduh jahat bener sih kesimpulannya tapi ya memangnya begitu habis mau diapain lagi ? yang penting aku tidak membenci dia. Malah sebetulnya cukup hobi ngajak si Jack ngobrol. Dia itu pinter ngebodor. Aku paling bahagia kalau dia dapat ulangan matematika bagus. Jempol kananku bisa jadi saksi. Dia selalu aku pamerkan di depan muka Jack kalau ulangannya bagus.
Tiba-tiba dari arah jam dua belas lebih 30 menit ada lagi sumber malapetaka. Roy yang dua minggu absen dengan alasan kurang jelas, lagi pecicilan sendiri di barisan paling belakang. Tentu saja tidak perlu menunggu sampai dua detik. Et malah seperenam detik deh. Jack sudah teriak.
“Pak, Roy juga becanda pak !!?”
Mulutnya Jack monyong-monyong dan matanya menatapku tajam seolah-olah aku ini tertuduh tindak kejahatan HAM. Hi..hi… bakat dari mana dia ya?.
“Tenang Jack bapak beresin”, kataku menenangkan.
“Roy, sini kamu!”
Sebetulnya aku sudah malas teriak-teriak. Dua minggu belakangan suasananya sudah enak. Nyaman dan terkendali. Pelajaran nyampe semua. Dengan kedatangan Roy kembali, aku tidak tahu apa yang akan terjadi sampai akhir cawu ketiga ini. Menekan-nekan tutup artline hitam dengan jempol ternyata bisa juga menurunkan tensi. Kaki lincah Roy langsung memburu posisiku. Berlari dengan gerakan zig-zagnya Rivaldo. Sambil cengengesan kepalanya digaruk-garuk.
“Emang kenapa sih pak?”, lengking si Roy manja.
Ya Allah, mudah-mudahan anakku tidak seperti dia kelakuannya. Banyangin aja, hasil survey kecil-kecilan menunjukkan hanya 2 dari 30 anak di kelas yang tidak terlalu gembira waktu dia izin dua minggu. Kalau sudah begitu terbayang lagi deh Adinda di rumah yang perutnya mulai buncit. Makannya susah banget. Kalau tidak ditemenin bisa tidak makan sampai pagi.
“Ya! kamu berdua baca ikrar”
“Kan uudah paaak”
“Lagi”
“Yaaaa…, pak”
“Cepet”
Sudahlah aku tinggal saja mereka berdua. “Mir, biarin aja tuh anak dua baca do’a lagi”.
Tiba-tiba “Ee..ma’af pak Jan, saya terlambat, itu… so’alnya ketinggalan jemputan, istri ane kan lagi sakit”, pak Amir yang baru terlihat pagi ini bicara dengan pelan kepadaku.
Well, aku sebenarnya paling malas tuh dengerin alasan. Bagiku asal dia bilang ‘ma’af saya terlambat’, ya sudah cukup. Tidak usah deh alasannya. Paling kan aku yang tanya, emangnya ada apa ? macet ya? Istri sakit ya? sambil senyum pula. Ya nggak ?
Jadi aku diam saja.
Tapi…. kayaknya kok tidak bijaksana ya..
Jadi,
“Masya Allah…masih sakit Mir? Udah dibawa ke dokter belom? Mudah-mudahan cepet sembuh deh”, kataku menghibur sambil menepuk-nepuk pundak pak Amir. Akhirnya kami berduapun masuk ke dalam.
Aku langsung menuju meja guru, meniup-niup debu sambil menyiapkan pelajaran pertama : yes! Matematika.
“Nisa…”
“Sudah, pak!” , hampir semua anak menyahut. Bagus, sudah kuduga.
Ya sudah kalau begitu. Aku memang paling senang kalau anak-anak mengambil inisiatif untuk berdoa bersama walau gurunya belum kelihatan. Jadi tidak perlu menahan nafas melihat tingkah Haekal yang susah banget diam di tempat.
“Ok, Assalamu’alaikum everybody. How are you today ?”
“I’m fine, and you ?”, jawab anak-anak serempak penuh semangat.
Sebentar mataku menyelidik sampai ke pojokan kelas. Terlihat Alfi si putih mengerjap-ngerjapkan mata. Baru sembuh dari sakit mata dia. Hmm, Karen si cantik melotot ke arahku. Bukan, bukannya dia lagi marah, matanya memang bulat jernih seperti boneka. Jilbab putih berenda warna-warni seragam hari rabu ini sepertinya paling indah dikenakan dikepalanya. Wandira si raja eh ‘ratu nggak masuk’ bahkan juga terlihat sehat dan sedang duduk manis di bangkunya. Alhamdulillah. Yang lain-lain tidak perlu dipastikan secara mendetil. Kalau bukan karena sakit parah atau izin dibawa ibunya pulang kampung, anak-anak seperti Michael, Diansas, Ausi, Novi atau Echa hampir tidak mungkin tidak masuk. Padahal anak yang terakhir ini menurut mamanya sebelum naik kelas tiga paling susah disuruh sekolah, tapi sekarang, wess! Disuruh libur waktu ada rapat saja dia nangis. “Maa aku kan maunya masuk. Nggak enak kalau sampe ketinggalan pelajaran..”, rengeknya. Waktu diceritain kelakuan Echa tersebut sama Bu Wida yang imut-imut itu, aku hanya manggut-manggut saja. Itu untuk menjaga wibawa. Padahal hati ini girang banget lho. Tapi yang paling bikin aku geli kata-kata si Echa itu, bikin aku nggak tahan. Habis kayak omongan seorang anak lugu yang baik di cerita-cerita jaman dulu waktu belum ada tipi dan film Shincan.
Ehhmm. Sepertinya masuk semua. Kulirik sebentar papan bendera personal. Tidak ada satupun bendera yang belum diambil pemiliknya. Yap, masuk semua, bagus. “Well, Now, we are going to study math!”. “Do you like math?”, kataku nyaring.
“Yess!!!”, teriak anak-anak. Anehnya, yang paling keras teriak itu selalu anak-anak yang nilai matematiknya paling jeblok. Lihat saja si Alfi, Andre, Owni, Fashil, dan Diansas. Sebetulnya masih ada satu lagi yaitu Jack tapi dia masih di luar sama si Roy, baca ikrar dan do’a ulang. Tangan mereka sampai diputar-putar di udara seperti gaya Oscar de La Hoya kalau menang tanding, sambil bilang yess, layaknya mereka itu master matematika. Hi hi lucu ya. Tapi terus terang itu kadang membuatku terharu. Lihatlah betapa mereka bisa merasa terbebas dari rasa takut dengan pelajaran matematika. Jauh sekali dengan yang aku rasakan ketika sekolah dasar dulu. Dan untuk pertunjukan semangat mereka pagi hari ini padaku, aku berdo’a InsyaAllah mereka nanti benar-benar jadi master matematika. Amiin.

Lima menit lagi jam setengah sepuluh, itu tandanya istirahat pertama. Anak-anak masih serius mengerjakan sepuluh soal pembagian ratusan dengan cara pendek. Beberapa soal kubuat susah, tujuannya agar Zahra dan Karen, juga Afis dan Raka tidak terlalu cepat selesai. Kasihan dia kalau harus menunggu terlalu lama. Kalau si Jack, dari nomer dua dia sudah hampir lima kali menyandar di bangku. Itu tandanya dia kepusingan dan sebentar lagi menyerah. “Paak susah paaaak..”, begitu biasanya kalau dia sudah menyerah. Tapi pagi ini suara itu tidak keluar-keluar dari mulutnya padahal sudah lewat 15 menit.
Akhirnya, “Ok, Jack. Bapak mau lihat pekerjaanmu. Bawa ke sini!”, kataku pelan dan berwibawa. Tentu saja dia tidak langsung beranjak dari tempatnya. Kalau kupanggil, Jack selalu merasa akan diberi hukuman.
“Hei, Jack!”, kataku agak keras, sampai-sampai semua anak menoleh sebentar ke arah Jack. Setelah memastikan itu hanya peristiwa rutin, mereka bekerja lagi seperti semula. Teriakanku yang ini tak ayal membuat ‘goyangan badan statis’nya (yaitu pola menggoyang badan ke kiri dan kekanan tenpa berubah posisi) bertambah cepat frekuensinya. Gigi kelinci besar plus formasi ‘merem melihat’ (gayanya kalau dia sebetulnya sudah ingin menangis tapi matanya sekuat tenaga di rapatkan untuk membendung air yang mau jebol) pun diperagakan. Walaupun dirapatkan, dia sebetulnya masih bisa melihat. Itu terlihat dari kilatan bola mata yang bergerak-gerak ke sana-ke mari ) seolah ingin mengatakan suatu ketidakberdayaan pada lawan tandingnya untuk dikasihani. “Hei, man, kamu kan lihat sendiri aku sudah menyerah kalah. Tolong dong kasihani aku. Jangan sakiti aku. Masak kamu tidak tahu kalau aku punya tanggungan beberapa anak kecil dan beberapa ekor ikan cupang yang perlu diberi makan ‘cu setiap hari di rumah”, begitu mungkin kalau diterjemahkan ke dalam kata-kata dari formasi ‘merem melihat’nya si Jack.
Tapi ini bukan pertandingan semacam Gladiator begitu. Aku guru matematikanya, dan dia muridnya.
“Came On. Cepat !!?”, kataku lebih keras.
Kali ini suaraku sudah cukup untuk membuyarkan strategi ‘menjawab soal’nya Diansas yang sudah susah payah dibuatnya. Kejadian seperti ini biasanya dipakai Diansas untuk pembelaan jika nanti dia kena tegur karena sudah dua jam pelajaran baru selesai 2 nomer. “Aku nggak bisa konsentrasi lagi pak, waktu bapak teriak-teriak ke Jack”, begitu Diansas biasa berkilah.
Begitu buku bersampul coklat kucel itu di bentangkan, tampak benar Jack baru membuat coretan-coretan nomer satu yang tidak jelas.
“Aduh, Jack, kalau kamu tidak bisa jangan takut begitu doong”, rajukku putus asa.
“Aku belum ngerti paaak…”
Yahh….“Sini bapak ajarin lagi….”, kataku lemas.


Kesibukan mengajar di SD Petang Gembira hari ini cukup membuatku terhibur. Kulirik arloji. Setengah lima. Di pelataran parkir, pak Jarwono terlihat mengusap-ngusap bodi vespa super keluaran tahun ’74 nya. Tak lama kemudian, “Aw!”, jeritnya.
Agaknya ia mendapati tali koplingnya putus lagi. Ya ampun kasihan dia. Sebulan bisa putus tiga kali. Kembali kulirik arloji. “hmmmm, Pulang sekarang nggak ya?”. Sepeda balap biru metalik tersandar di bawah pohon petai cina seolah menunggu dengan tak sabar.
“Ampun pak Jan, putus lagi koplingku”, keluh pak Jarwono sambil melintas ke ruang guru.
Aku hanya tersenyum lebar.
Yeaah…., motor.
Iyya, ya?, kapan aku bisa punya motor ya?, pikirku.
Bosan juga aku kan kalu sering-sering dengar lelucon keringnya pak Ubit. “Bapak-bapak, …kita juga harus selalu berusaha memikirkan peningkatan kesejahteraan guru-guru kita. Saya kan tidak tega hampir setiap hari ngelewatin pak Jan lagi nggenjot sepeda ke sekolahan!”, begitu biasanya usul dan saran atau kesan dan pesan atau apalah namanya dari pak Ubit kalau dikasih kesempatan sebentar saja megang mikropon di rapat-rapat orangtua murid dan guru. Herannya kenapa harus selalu pak Jan contohnya. Keki dangdut deh pokoknya sama dia.

Beberapa tumpukan pekerjaan ank-anak kelas 3 Ranger menunggu dengan tertib di atas meja pak Jan untuk dijamah. Yang di dalam map hijau adalah kertas ulangan matematika, sudah dua minggu belum juga diperiksa. Sementara map warna hijau agak muda isinya hasil prakarya matematika. Map kuning dan plastik transparan berisi tugas dan ulangan IPS. Pak Jan memandangi tumpukan tersebut beberapa saat sambil senyum-senyum. Sedetik kemudian ia menyambar tas Jack WolfSkin orange-nya dan bergegas pulang. Di bawah pohon petai cina tempat sepedanya tersandar, ia masih terlihat berbicara sendiri.
“Ayo nimbus, kita pulang. Bismillah..”
:: posted by mohamad hary, 3:00 PM | link | 0 comments |

Wednesday, April 20, 2005

penelitian

pak, saya akan meneliti kira-kira seperti apa sistim penyimpanan kotoran manusia di bawah sana. bagaimana mereka membuat klasifikasinya? kalau saya tidak kembali sampai tengah hari, tolong Bapak menjemput saya...
:: posted by mohamad hary, 7:04 PM | link | 0 comments |

Tuesday, April 19, 2005

apa sich blog itu?

Mau tanya, apa sich blog itu?

blog itu memang tergolong istilah baru di dunia internet. sehingga istilah ini praktis belum begitu merata penyebaran pemahamannya. sehingga kami sebagai netter dari kelompok baik-baik merasa memiliki kewajiban untuk menyebarkan pemahaman tentang blog.

Oke-oke to the point aja lah

blog itu bukan kependekan dari goblog. bukan juga nama sebuah kawasan seperti blog m. persisnya blog bukanlah hal-hal remeh seperti itu.

jadi

oke. tapi sebelumnya kami mau tanya dulu nih. boleh?

cepet

anda tahu istilah diary?

tau. ceritanya orang iseng yang ditulis di buku kecil. sampulnya tebal. pake gembok.

salah

bodo

jadi diary itu adalah pengalaman-pengalaman hidup atau pemikiran seseorang yang ditulis sesuai waktu kejadiannya. jadi tidak mesti bukunya kecil, sampulnya tebal, lalu...gembok? apa itu?

(ngeselin ni orang)

nah, itukan di buku. kalau kita menulisnya di internet, dinamakan web log, lalu disingkat menjadi blog.

iyya deh..terima kasih

oiya kalau anda mau membuat blog semacam ini gampang koq. anda bisa membuatnya pada situs pembuat blog seperti blogger.

ahh.. buat apa nulis diary? di komputer lagi! dan apa gunanya membaca diary anda berdua? seperti tidak ada kerjaan ajah...

justru itu adalah pekerjaan yang cukup baik dilakuikan untuk orang sejenis anda. dengan sering-sering membaca blog orang lain, dan menulis blog kita sendiri, dapat menambah wawasan dan membuat diri kita lebih arif lho? jadi tidak perlu lagi pake bertanya blog itu apaan.

(mm...betul juga orang2 ini)

oke dech. bye for now. daag!

tunggu!!!

apa lagi nich

angkatlah saya sebagai murid. ajarilah saya ilmu kalian. ooh masters!

(berpikir keras lalu saling berpandangan) baiklah. tapi satu syarat : jadilah kau orang yang membela kebenaran, menegakkan keadilan, dan memberantas kejahatan. sanggup?

sanggup masters!! terima kasih 10x(sambil membungkuk-bungkuk)

alah ampe begitu amet. (sambil membalikkan badan dan berlalu)

***THE END***
:: posted by mohamad hary, 6:25 PM | link | 0 comments |